Langsung ke konten utama

Anak- Anak Negeri, Dari Timur Kami Berbicara






Mereka butuh tuntunan bukan tuntutan
Bukan pula pukulan hanya pengertian
Sebab kita punya hati bukan untuk menyakiti

Mereka adalah anak-anak saya, di sana saya dipanggil ibu guru. Walaupun di awal jumpa kami saya telah memperkenalkan diri sebagai seorang kakak. Mungkin kebiasan di sekolah telah menobatkan saya sebagai seorang ibu guru. Dan itu cukup membanggakan untuk saya pribadi. Seiring berjalanya waktu, rasa itu tumbuh. Rasa untuk disayangi dan menyayangi. Mereka anak yang baik namun tidak benar-benar baik menyuarakan suara hati. Saat mereka bermain dan lupa akan waktu, sebuah teriakan peringatan atau sesekali sebuah pensil melayang di kepala. Mungkin mereka akan belajar, meraka salah sebab terlalu beribut dan nakal. Tapi ingat mereka juga akan belajar saat orang nakal mereka akan berteriak atau memukul untuk memberi pelajaran.
Yah kita pernah di posisi itu, hanya mengikuti apa yang diperintahkan dan meniru apa yang dilakukan orang dewasa. Mereka masih kecil untuk mengerti pikiran membosankan orang dewasa. Sebab mereka belum menjadi dewasa. Namun kita yang pernah menjadi kecil pun bahkan tidak cukup mengerti jalan pikiran mereka. Apakah kita tidak pernah mengalami masa kecil? Apa kita langsung dewasa?Apa mungkin masa kecil seperti memori usang dalam gudang tak bertuan?
Saya benci saat kita membentak hanya untuk didengar. Apakah kata-kata lembut terlalu murahan untuk dilontarkan?. Walaupun perlakuan secara fisik sudah semakin berkurang tapi bukan kata-kata verbal yang malah menjadi alternarif untuk menghatui jiwa mereka yang masih belia. Saya bukan seorang guru, saya tak benar-benar paham bagaimana cara mengajar dengan baik. Tapi jika engkau guru yang ingin mencerdaskan generasi bangsa saya harap tak perlu ada cacian saat amarahmu memuncak. Mereka masih kecil dan teramat kecil untuk belajar meniru dan mencontoh sikapmu yang memilukan.

Ada tugas mulia di bahumu
Menjadikan negeri ini maju
Lewat tanganmu yang menuntun
Dengan sabar tanpa ampun

Saat kau minta mereka beradab
Jangan kau contohkan sikap biadab
Anak-anak negeri ini
Hanya punya mimpi
Untuk dewasa nanti menjadi berarti
Jangan dihancukan lewat caci maki

Sebab mereka pencontoh yang paling baik
Saat amarahmu memuncak
Tahanlah di dada sampai terisak
Hingga tak ada luka yang merusak


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanah Rantau

Bulan April datang Siapa paham itu hari malang Api menjalar waktu siang Semua lenyap tinggal ampas arang Perlahan-lahan makin jelas Tanah rantau memang keras Hidup di bangunan orang Bisa dirampas kala petang Gelap jadi makin pekat Tidak ada tawa di waktu padam Tidak ada cerita di waktu sunyi Hanya tangis, semua hilang Dinding kokoh jadi rapuh Di bawah kelabu makin jadi abu Runtuh ditinggal pergi jauh Tinggal puing ingatan semu Tempat dimana pernah ada kita anak-anak kecil yang bermain bersama Saya kembali Tapi hanya seorang diri
Yang Ku Sebut Rumah Yang ku sebut rumah, ternyata tidak disini Terlalu membutakan hingga lupa ini hanyalah tempat persinggahan Katanya seperti suatu siang yang terik dengan kehausan di tengah padang pasir Cukup seteguk air lalu pergi, tidak demikian Serakah itu sifat manusia, perihal tak terbantahkan Cukup bukan tanda kepuasan, itu menyiratkan kekurangan dengan artian lebih Sebuah tempat sementara pun dengan kemauan di jadikan selamanya Serakah. Serakah. Itu juga diriku hendak memeluk gunung dengan lengan pendek. Lupa dimana yang ku sebut rumah Disini atau disana. Jawabnnya jelas namun diakhiri tanda tanya Sebab rasa ini lebih rapuh untuk yang tak nampak dan tanya itu mengungkapkan sebuah keyakinan Buta. Tak ingin melihat. Sudah terlanjur salah untuk yakini kebenaran Rumah bukan disini. Ini hanya tempat yang ambigu. Ingin pulang namun takut meninggalkan kemewahan terlalu dini Takut pulang dengan penyiksaan menanti di batas penghujung hari Leb...